PEKANBARU (RIAUPOS.CO) — Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) pemerintah daerah (pemda) se-Riau tahun 2018-2019 secara berturut-turut mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Namun, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau menilai penilaian opini tersebut bertolak belakang dengan hasil pemeriksaan yang ditemukan cukup banyak permasalahan dalam pengelolaan keuangan daerah.
Manajer Advokasi Fitra Riau Taufik mengatakan, bertolak belakang yang dimaksud tersebut khususnya atas ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan yang dapat berakibat pada dugaan kerugian negara, potensi kerugian, kekurangan penerimaan, juga ditemukan adanya penyimpangan administasi yang tidak menimbulkan dampak finansial.
“Temuan audit LKPD Pemerintah Provinsi Riau dan 12 kabupaten/kota se-Riau dalam dua tahun, 2018 dan 2019. Khususnya atas ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan, yang menimbulkan dampak finansial mencapai Rp91,4 miliar. Di antaranya terdapat kerugian negara mencapai Rp46,6 miliar, berpotensi merugikan negara Rp10,4 miliar dan adanya kekurangan penerimaan negara/daerah mencapai Rp34,2 miliar,” katanya.
Lebih lanjut dikatakan Taufik, atas temuan yang dapat menimbulkan kerugian negara cukup tinggi dan terjadi kenaikan dari tahun 2018 sebesar Rp19,8 miliar, naik pada 2019 mencapai Rp26,8 miliar. Adapun temuan yang menimbulkan kerugian negara terjadi pada beberapa kasus. Di antaranya kekurangan volume pada pekerjaan fisik dan pengadaan barang jasa, perjalan dinas ganda/tidak sesuai kondisi senyatanya, spesifikasi pekerjaan/ barang tidak sesuai ketentuan.
“Temuan kasus yang berpotensi menimbulkan kerugian negara, terjadi penurunan dari tahun 2018 mencapai Rp7,8 miliar dan tahun 2019 sebesar Rp2,6 miliar. Kasus yang berpotensi merugikan negara di antaranya pengelolaan aset tidak sesuai ketentuan, kelebihan pembayaran belanja pegawai dan tunjangan, belanja yang membebani keuangan daerah seperti denda atas sanksi administrasi dan tunggakan pajak kendaraan dinas,” jelasnya.
Beberapa kasus yang menyebabkan adanya kekurangan penerimaan negara/daerah pada kasus ini terjadi peningkatan sangat signifikan. Pada 2018 sebesar Rp6,7 miliar meningkat pada 2019 mencapai Rp27,5 miliar. Di antaranya disebabkan denda keterlambatan pekerjaan belum dibayar atau disetorkan ke kas daerah, kontribusi pekerjaan belum dipungut, potensi pendapatan retribusi yang dipungut, dan kekurangan penerimaan lainnya.
Selain itu, ditemukan juga adanya penyimpangan administrasi dalam pengelolaan kegiatan dan anggaran daerah, seperti pelaksanaan pekerjaan yang melibatkan pihak ketiga tidak sesuai ketentuan. Berikutnya penggunaan dana hibah tidak disertai laporan pertanggungjawaban, belanja pegawai dan barang jasa tidak wajar, serta pengelolaan keuangan/kas daerah tidak tertib.
“Fitra Riau menilai, atas temuan-temuan tersebut menunjukan bahwa pemerintah daerah di Riau, tidak menunjukkan kinerja baik dalam penyelenggaran pemerintahan dan pengelolaan anggaran. Sebagaimana berdasarkan kasus yang ditemukan selalu berulang-ulang setiap tahunnya, terutama yang berdampak pada kerugian negara mencapai Rp46,6 miliar,” ujarnya.
Jumlah temuan atas ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan, ditemukan sejumlah 170 kasus dalam dua tahun 2018-2019, terdiri dari 74 kasus yang merugikan kerugian negara, 32 kasus berpotensi menimbulkan kerugian, dan 38 kasus yang berakibat adanya kekurangan penerimaan negara/daerah, serta 26 kasus terjadinya penyimpangan administrasi yang tidak berdampak finansial.
“Berdasarkan jumlah kasus yang ditemukan dari tahun ke tahun, justru terjadi peningkatan seperti pada 2018 sejumlah 84 kasus dan tahun 2019 berjumlah 86 kasus, dengan peningkatan jumlah kasus yang ditemukan dalam dua tahun terakhir, menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak mampu memperbaiki kinerjanya. Padahal temuan-temuan tersebut telah menjadi rekomendasi kepada pemerintah daerah setiap tahun untuk memperbaiki kinerja penyelenggaraan pemerintah dan perbaikan tata kelola anggaran daerah,” paparnya.
Temuan yang berdampak pada kerugian negara mencapai Rp46,6 miliar dari tahun 2018-2019, cukup tinggi terdapat pada pemerintah Provinsi Riau pada tahun 2018 Rp8,9 miliar dan tahun 2019 sebesar Rp6,5 miliar. Kemudian daerah kabupaten/kota di Riau dengan temuan kerugian negara tertinggi terdapat pada pemerintah kabupaten bengkalis pada tahun 2018 sebesar Rp3,4 miliar dan tahun 2019 mencapai Rp5,1 miliar.
“Daerah lainnya Kabupaten Indragiri Hilir pada 2018 ditemukan kerugian negara sebesar Rp730 juta, dan pada 2019 terjadi peningkatan cukup tinggi mencapai Rp4,8 miliar. Begitu juga daerah lainnya di Riau ditemukan kerugian negara, secara rata-rata terjadi peningkatan dalam dua tahun terakhir antara Rp50 juta–Rp2 miliar lebih,” jelasnya.
Kondisi ini menunjukan bahwa pemerintah daerah tidak serius melakukan perbaikan kinerja keuangan sesuai ketentuan perundang-undangan. Hal itu dibuktikan dengan adanya temuan yang berulang-ulang dari tahun ke tahun. Bahkan terdapat peningkatan nilai kerugian negara dalam dua tahun terakhir.
“Seyogyanya berdasarkan temuan tersebut dapat diperbaiki dalam pengelolaan keuangan di tahun berikutnya sebagaimana rekomendasi BPK. Untuk itu, penting bagi pemerintah daerah untuk mematuhi dan memperbaiki kinerjanya, apalagi atas temuan yang berdampak pada kerugian negara dapat berakibat pada indikasi korupsi, sehingga perlu audit khusus untuk menelusuri temuan-temuan tersebut, terutama terkait temuan yang terjadi berulang-ulang setiap tahun,” pintanya.
Selanjutnya, temuan yang berpotensi menimbulkan kerugian negara mencapai Rp10,4 miliar pada tahun 2018-2019. Secara umum, masing-masing daerah di Riau terjadi penurunan terhadap temuan yang berpotensi menimbulkan kerugian. Kecuali pada Pemerintah Kota Pekanbaru terjadi kenaikan dari 2018 sebesar Rp120 juta, meningkat pada 2019 mencapai Rp1,8 miliar, juga terhadap Pemerintah Kabupaten Meranti terdapat kenaikan dari tahun 2018 sebesar Rp77 juta, meningkat di tahun 2019 mencapai Rp232 juta.
“Hasil pemeriksaan terhadap Pemerintah Provinsi Riau ditemukan adanya potensi kerugian negara mencapai Rp909 juta pada 2018. Kemudian temuan pada 2019 sebesar Rp398 juta. Begitu juga daerah kabupaten/kota lainnya terjadi penurunan nilai anggaran yang berpotensi merugikan Negara. Termasuk Kabupaten Siak tidak ditemukan kegiatan yang berpotensi merugikan negara,” katanya.
Kemudian, ditemukan adanya kekurangan penerimaan negara/daerah mencapai Rp27,5 miliar dari 12 kabupaten/kota dan Pemprov Riau. Pemprov Riau pada 2019 terdapat kekurangan penerimaan daerah sebesar Rp20,5 miliar meningkat dari tahun 2018 sebesar Rp957 miliar. Kabupaten/kota di Riau rata-rata terdapat kekurangan penerimaan daerah paling tinggi mencapai Rp2,2 miliar.
“Penyebab adanya kekurangan penerimaan daerah adalah tidak dipungutnya atau belum disetorkan potensi penerimaaan daerah. Sehingga akibatnya pemerintah tidak dapat memanfaatkan anggaran tersebut untuk membiayai keperluan pembangunan daerah. Bahkan temuan-temuan adanya kekurangan penerimaan daerah selalu menjadi temuan audit setiap tahunnya,” sebutnya.
Berdasarkan temuan audit LKPD tahun 2028-2019 tersebut, Fitra Riau merekomendasikan kepada pemerintah daerah di Riau, antara lain; terkait opini WTP yang berikan kepada pemda di Riau pada tahun 2018-2019, BPK perlu melakukan review kembali atas penilaian yang diberikan kepada masing-masing pemda di Riau, mengingat jumlah kasus dan dampak kerugian yang ditimbulkan cukup besar. Baik terhadap yang menimbulkan kerugian negara, potensi kerugian, kekurangan penerimaan daerah dan adanya kesalahan administrasi.
“Atas temuan yang menimbulkan kerugian negara, pemerintah daerah harus segera melakukan perbaikan tata kelola keuangan daerah sesuai rekomendasi BPK, sekaligus diperlukan keterlibatan penegak hukum untuk menelusui temuan-temuan yang dapat mengarah pada indikasi korupsi,” pintanya.
Sementara itu Kepala Inspektorat Riau Sigit Juli Hendriawan ketika dikonfirmasi perihal audit LKPD tersebut mengaku akan mempelajarinya terlebih dahulu.
“Besok akan saya pelajari dulu,” ujarnya.(sol)