PEKANBARU,TRIBUN – Hasil uji petik (sampel) yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perwakilan Riau terhadap organisasi masyarakat penerima bantuan sosial membuat buluh kuduk berdiri. Pasalnya dari sembilan ormas tersebut, tim BPK hanya menemukan satu alamat organisasi penerima yang sesuai dengan alamat surat permohonan bantuan. Sementara, delapan alamat organisasi lainnya tak bisa dilacak. Bahkan uniknya, tim BPK menemukan satu organisasi yang menggunakan alamat sebuah usaha bengkel, padahal dalam surat permohonan bantuan tertera sebagai alamat lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Dalam dokumen hasil pemeriksaan keuangan pemprov Riau tahun anggaran 2009 yang diterbitkan oleh BPK perwakilan Riau, dari sampel sembilan organisasi tersebut, realisasi bantuan yang sudah diberikan sebesar total Rp395 juta tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan, lembaga audit negara tersebut menyebut penggunaan dana ormas tidak dipakai sesuai tujuannya. BPK menegaskan, dugaan salah sasaran bantuan pemprov tersebut disebabkan oleh mekanisme pengawasan dan pertanggunjawaban bansos yang amat minim.
Pemprov Riau 2009 lalu mengalokasikan dana bantuan sosial masyarakat umum sebesar Rp216 miliar. Namun hingga akhir tahun anggaran, dana bansos yang terpakai mencapai Rp213,2 miliar lebih. BPK sendiri terkesan repot untuk melakukan audit seluruh organisasi yang menerima bantuan tersebut, lantaran tanpa melalui mekanisme pertanggungjawaban keuangan.
Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau, Fahreza kepada Tribun, Sabtu (24/7) menyatakan, dana bantuan sosial rawan terhadap penyimpangan. Karena tidak adanya tolak ukur pemberian bantuan yang jelas, maka pihak yang menerima bisa siapa saja, termasuk organisasi yang sekedar dibuat untuk mendapatkan duit saja.
Bahkan lanjut Fahreza, duit jumbo itu juga berpotensi kuat dipakai untuk kepentingan elit yang tengah berkuasa, termasuk lingkaran kerabat dan kekuasaan. Menurutnya besar kemungkinan, dana tersebut bercampur menjadi modal suksesi dalam agenda politik di daerah. Ia menyatakan, aparat penegak hukum harusnya berinisiatif untuk melakukan penyelidikan terhadap dugaan penyimpangan dalam penggunaan bantuan tersebut, terutama bila melibatkan penyelenggara pemerintahan.
“Dari dulu dana itu kerap disebut dana siluman. Karena penerimanya tidak jelas, tapi duit terpakai. Sebaiknya, aparat hukum menyelidiki masalah ini,” terang Fahreza.
Fahreza menerangkan, pemerintah daerah perlu menyeleksi ormas-ormas yang layak menerima bantuan tersebut. Faktanya, banyak ditemukan organisasi yang hanya punya plang nama, namun mendapat jatah bantuan besar. Sementara, organisasi yang terbukti berbuat untuk masyarakat dan memiliki program nyata, tidak diperhatikan sama sekali.
Sebelumnya, pekan lalu, Badan Pemeriksa Keuangan RI mengeluarkan siaran pers resmi yang menyebutkan dana bansos di sejumlah daerah di Tanah Air rawan penyimpangan dan hanya dinikmati oleh elit politik lokal. Pengalikasian dana bansos yang besar, menurut BPK menjadi modal dalam helat politik pemilukada. (ran)
Sumber : Tribun Pekanbaru