Jakarta– Pemerintah akan menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada akhir 2017 sebagai pertimbangan untuk menambal defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Pernyataan itu menanggapi proyeksi BPJS Kesehatan terkait defisit anggaran tahun ini yang mencapai Rp9 triliun. Jumlah itu meningkat dari defisit tahun sebelumnya sekitar Rp8,56 triliun.
Direktur Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kementerian Keuangan Kunta Wibawa Dasa Nugraha mengatakan, hasil audit dari BPK diperlukan lantaran pemerintah belum memiliki proyeksi defisit secara rinci, meski status defisit tak pernah absen dari anggaran BPJS Kesehatan yang didirikan sejak 2014 lalu.
“Itu kan baru potensi (defisit Rp9 triliun). Kan belum diaudit BPK,” kata Kunta singkat kepada CNNIndonesia.com, Selasa (26/9).
Kendati ada potensi defisit anggaran, lanjut Kunta, badan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden itu tetap tak akan mendapat penyertaan modal negara (PMN) tahun depan.
“Tidak ada peningkatan (anggaran untuk BPJS Kesehatan),” tambahnya.
Alasannya, pemerintah ingin agar BPJS Kesehatan dapat mengelola keuangan dengan baik dan sehat sebagai lembaga yang menjalankan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Selain itu, pemerintah juga berharap BPJS Kesehatan bisa lebih giat membidik peserta mandiri yang potensinya masih besar, sehingga bisa menjadi pemasukan bagi badan.
Berdasarkan rekam jejak anggaran BPJS Kesehatan, tercatat total suntikan pemerintah dalam empat tahun terakhir telah mencapai Rp15,9 triliun, yakni sekitar Rp500 miliar pada 2014, Rp5 triliun pada 2015, Rp6,9 triliun pada 2016, dan Rp3,6 triliun pada 2017.
Sayangnya, suntikan pemerintah belum mampu menutup kebocoran anggaran BPJS Kesehatan. Pada tahun ini, BPJS Kesehatan memproyeksi akan kembali mengalami defisit lantaran ketidakseimbangan besaran iuran yang didapat dari peserta BPJS dengan biaya yang harus dikeluarkan, khususnya untuk peserta golongan Penerima Bantuan Iuran (PBI).
(Sumber: www.cnnindonesia.com)