Main-Main Dengan Sembako Covid-19

PEKANBARU, (RIAUPOS.CO) – Para kepala rukun warga (RW) di Pekanbaru sempat menolak penyaluran sembako bagi warga terdampak pandemi Covid-19. Pada April-Mei 2020, Pemko meminta para RW mendata mereka yang berhak menerima paket sembako. Di salah satu RW di Kelurahan Simpang Baru, Kecamatan Bina Widya, misalnya terdata 2.600 warga yang berhak.

“Tiba-tiba data itu tak dipakai, lalu muncul data 260 orang dari pemko. Hanya 10 persennya. Di sana ada orang kaya, PNS yang seharusnya tak berhak. Tentu kami tolak,” ujar seorang warga, Iwan, Jumat (3/9).

Ternyata ini terjadi di banyak sekali RW di Pekanbaru. Penolakan demi penolakan pun dilakukan para ketua RW dan RT. KelurahanMunggu, Air Dingin, Padang Terubuk, Sumahilang, di kecamatan berbeda dan sejumlah kelurahan di Tenayan Raya adalah sejumlah contoh. Ada beberapa alasan penolakan itu. Gelombang penolakan ini bahkan memakan “tumbal” lurah yang dicopot karena dianggap tak bisa meredam gejolak yang muncul. Ada beberapa alasan ditolaknya sembako ini. Di antaranya, data yang dipakai bukan dari RW, melainkan versi pemko sendiri yang isinya banyak orang tak berhak, orang kaya atau PNS. Lalu jumlahnya jauh berkurang, sehingga bisa menimbulkan gejolak. Dan para RW diminta ikut menyaksikan penyaluran. Sebagai legitimasi saja.

“Tentu kami tak mau. Bisa-bisa warga ngamuk ke kami, bukan ke Pemko,” ujar salah seorang ketua RW.

Setelah menolak sembako dari Pemko Pekanbaru, beberapa ketua RW berinisiatif meminta bantuan kepada beberapa perusahaan besar, pusat perbelanjaan, dan yayasan sosial. Ternyata mereka dibantu. Ada yang dapat 300 paket, 500 paket, dan lainnya. Berdasarkan keterangan dari ketua RW itu, ternyata perusahaan itu sebelumnya juga kena “tanduk” pejabat pemko. Spekulasi pun beredar, sembako hasil “tandukan” itu pula yang rupanya disalurkan. Pembagian sembako Pemko Pekanbaru memang terus dilakukan kepada warga yang tidak menolak. Jumlahnya 30 ribu paket.

Belakangan, bantuan sembako Covid-19 itu ketahuan bermasalah. Seperti bermasalahnya bantuan Covid-19 lainnya di Riau yang membuat Menteri Sosial Tri Rismaharini marah-marah saat berkunjung ke Pekanbaru, beberapa waktu lalu. Terdapat lima kabupaten/kota di Riau yang belum menuntaskan menyalurkan bansos ini, termasuk Pekanbaru. Selain itu Pelalawan, Rokan Hulu, Indragiri Hilir, dan Kampar. Bedanya, bansos ini berbentuk transfer langsung, sehingga sulit untuk “main-main”.

Kelebihan Bayar Rp45 Ribu per Paket

Dalam hal ini, Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru menganggarkan Rp7,45 miliar untuk pembelian 30 ribu paket sembako. Nilai satu paket sebesar Rp235.844. Awalnya harga yang dihitung adalah Rp221.778 per paket. Perhitungan ulang, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau ternyata harga yang wajar adalah Rp176.226 per paket. Terdapat kelebihan bayar yang tidak wajar sebesar Rp45.551 per paket. Jika dikalikan 30 ribu paket, maka total kelebihan bayar sebesar Rp1,366 miliar.

Dugaan mark up pun mengemuka di sana. Bisa jadi ada “main mata”, seperti pada mantan Mensos Juliari Batubara, yang tertangkap tangan KPK “main-main” dengan sembako Covid-19. Tapi tentu saja semuanya dibantah. Berdasarkan audit BPK yang melakukan klarifikasi ke Dinas Perindag Kota Pekanbaru, selisih harga tersebut terjadi karena adanya target waktu pembagian sembako kepada masyarakat. Dinas Perindag hanya melihat kelayakan barang dan tidak memperhatikan harga. Kondisi ini diduga melanggar Perpres No 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Diduga terjadi pemborosan dan kebocoran uang negara dan harus dicegah berdasarkan pasal 7 ayat (1). Apa yang dilakukan, melanggar juga Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 13 tahun 2018.

Lebih spesifik lagi, sudah ada Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 26 Tahun 2020 tentang Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Penanganan Covid-19. Di sana diatur rinci soal barang dan jasa terkait bantuan Covid-19. Pun ketentuan ini dilanggar.

BPK pun sudah meminta agar Wali Kota Firdaus memperhatikan ini. BPK merekomendasikan Wali Kota memerintahkan Dinas Perindag untuk memproses dan mempertanggungjawabkan kelebihan bayar sebesar Rp1,366 miliar.

Berdasarkan audit BPK juga, terdapat kelebihan jumlah penerima bansos dan sembako sebanyak 658 KK. Paling banyak adalah karena adanya data ganda 653 KK. Yang lebih mengejutkan, terdapat aparatur sipil negara (ASN) yang menerima bansos di tiga kecamatan. Selain itu, banyak warga tanpa data KK yang menerima bansos. Jumlahnya 1.470 KK.

Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Riau, Widhi Widayat bersama Kepala Sub Auditorat Riau 2 Handriyas Haryotomo menerangkan rinci kasus ini. Widhi menyebut, memang terjadi kelebihan bayar di Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru 2020. Khususnya pada dana pembelian sembako penanganan Covid-19 kepada Bulog Riau Kepri sebesar Rp1,366 miliar.

“Kami (BPK, red) punya program pemeriksaan. Apalagi kalau program pemeriksaan keuangan pemda yang sifatnya kan mandatory. Artinya, apa yang kami lakukan itu sudah program wajib,” ujarnya, Senin (30/8).

Pada kelebihan pembayaran itu,  pihaknya mengidentifikasi  terjadi karena dua hal. Pertama, pekerjaan itu terjadi kekurangan volume, seperti untuk pekerjaan fisik. Kedua, karena kelebihan pembayaran. Hal ini dikarenakan adanya kemahalan harga. Contohnya pengadaan sembako ini.

“Kami punya harga pembanding yang valid. Ketika kami bandingkan, ini ada selisih. Makanya yang dibayarkan lebih dari yang seharusnya. Ada kemahalan harga. Untuk item yang sama dan kita harus pastikan harga yang kita bandingkan itu memang selaras, item yang sama, harga di saat yang sama,” ungkapnya.

Ini pun di BPK sangat ketat. Artinya, tidak boleh BPK punya pembanding misalnya sebulan atau dua bulan lalu. Apalagi sembako pada saat ini fluktuatif. Ketika mau menghitung, BPK tidak sepihak. Artinya dengan pihak yang terkait dilakukan konfirmasi, benar tidak ini.

“Itulah yang terjadi. Maka kami mengangkat ada kelebihan pembayaran ini,” ungkapnya.

Ditambahkan Widhi, selisih lebih bayar ini kalau dari satu paket itu Rp45 ribu lebih. Total dari semua pengadaan Rp1,3 miliar lebih. Mengapa bisa terjadi? Itu karena kondisi. Saat itu memang sepertinya  kondisi yang tidak normal. Padahal ada program pemerintah harus membantu masyarakat dan harus dijalankan, sehingga untuk mendapatkan barang ini mana yang ada saja. Kadang dalam saat tertentu kaidah-kaidah yang seharusnya menjadi perhatian itu ditinggalkan. Itulah yang terjadi saat itu.

“Pihak Bulog saat kami konfirmasi menyebutkan semuanya karena kondisi. Ya sudah Pak, yang penting kita ada dulu,” ujarnya.

Mekanisme pengembalian lebih bayar seperti apa? Disebutkan dia, dalam LHP BPK, BPK memuat temuan pemeriksaan itu ada beberapa aspek yang harus diungkapkan, yakni komponen dari suatu temuan pemeriksaan. Termasuk kondisi, yakni keadaan faktual yang ditemukan. Selanjutnya  kriteria.

“Kriteria itu semua hal yang mengatur apa yang seharusnya. Kriteria itu kan yang seharusnya, kondisi ini kan tidak sama,” ujarnya.

Ketika tidak sama maka terjadi masalah yang menimbulkan akibat. Akibatnya, harusnya harganya Rp50.000 ternyata belinya Rp95.000. Maka ada kelebihan bayar Rp45.000. Itulah akibatnya ada kelebihan bayar yang totalnya mencapai Rp1,3 miliar lebih itu. “Sebabnya itu tadi, ada kebutuhan mendesak  dan segala macam. Itu kita ungkapkan juga. Terakhir ada bagian dari temuan itu yang disebut rekomendasi,” ungkapnya.

Ditambahkan Widhi, ketika akibatnya kelebihan bayar tadi makanya BPK merekomendasikan kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan kegiatan itu untuk mengembalikan kelebihan pembayaran itu ke kas daerah, dalam hal ini kas Pemko Pekanbaru.

“Jadi, rekomendasi itulah yang mengikat bahwa yang lebih bayar tadi harus dikembalikan kelebihannya sesuai hasil penghitungan. Kalau dalam temuan ini sekitar Rp1,3 miliar lebih yang harus dibalikkan,” tambahnya.

Terkait deadline pengembalian, menurutnya, dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tindak lanjut dari rekomendasi BPK tadi, harus dilakukan dalam rentang waktu 60 hari. Tapi kalau menyangkut pengembalian ini, aturannya belum mengatur 60 hari harus selesai semua. Tapi dalam 60 hari itu sudah ada tindak lanjutnya meskipun disyaratkan tidak selesai seluruhnya.

“Makanya, dalam kasus temuan ini, posisinya memang dari Rp1,3 miliar belum semuanya disetorkan kembali. Ada selisih sekitar Rp200 juta. Itu ternyata Bulog belum menindaklanjuti karena memang  pembayarannya belum selesai dilakukan pihak Pemko Pekanbaru,” ujar Widi.

Harus Dikembalikan Semua

Menjawab apa konsekuensi kalau tidak dikembalikan, Widhi menyebut, kalau dari sisi BPK harus dikembalikan semua. BPK akan terus memantau hal ini sejauh mana perkembangannya. Karena sebetulnya, ketika LHP sudah BPK serahkan, kewajibannya itu ada di tangan yang bersangkutan untuk menindaklanjuti rekomendasi BPK.

“Media juga sebenarnya bisa memantau, bagaimana perkembangannya dan sudah seberapa jauh tindak lanjut yang dilakukan, baik pemko maupun Bulog,” ujarnya.

BPK, tambahnya  belum punya payung hukum untuk mendorong untuk lebih keras lagi. Jadi sebutannya kalau sudah selesai LHP diserahkan, karena bolanya di mereka jadi sebutan pada BPK disebut pemantauan.  “Memantau ini kan beda dengan memeriksa,” tambahnya.

Apakah dalam pemantauan yang dilakukan, BPK tidak bisa mendesak? Menurut Widhi, tidak bisa. Karena kunci pada BPK itu pada rekomendasi. Ketika direkomendasi membilang memproses dan mengembalikan ke kas daerah, maka sesuai itu saja. “Tolong diperhatikan, nilainya berapa yang harus dikembalikan. Ya itulah yang harus dikembalikan,” ujarnya.

Tidak ada batas atau tenggat waktu harus dikembalikan? Nah itu yang belum diatur secara detil, khususnya pengembalian. “Sisi kami  (BPK, red) ini curhat, agak gatal juga gitu lho. Tapi undang-undangnya belum sampai ke situ mengatur teknisnya bagaimana,” tambahnya lagi.

Bagaimana kalau dibawa ke ranah hukum? Widhi mengatakan  no comment, karena itu sudah di luar  porsinya BPK. Kalau masyarakat yang melapor?  “Bisa saja, monggo saja. Tapi kan melaporkan nanti di aparat penegak hukum akan menganalisis lagi, memenuhi unsur-unsur pidana atau tidak,” ujarnya.

Tapi dalam hal ini, pihak Bulog memang sudah menjelaskan mengapa belum selesai pengembaliannya, karena mereka pun masih menunggu pembayarannya. Jadi pembayarannya pun belum lunas. Pemko belum bayar 100 persen. Jadi kalau sudah bayar 100 persen baru dia kembalikan lagi.

“Secara administrasi, transaksi ini belum clear. Bulog kan tak mau menalangi dulu pengembaliannya,” sebutnya.

Terus Dipantau

BPK Perwakilan Riau terus melakukan pemantauan terkait pengembalian uang rakyat ini. Terkait pembanding yang dilakukan BPK, dijelaskan Handriyas Haryotomo, bahwa kontrak pengadaan barang itu ada formulasi pembentuk harganya. Baik beras, mi instan, minyak goreng, dan sarden. Harga beras per kilonya itu sudah ada. Tetapi beras itu sampai ke masyarakat ada tambahan-tambahannya lagi, seperti transportasinya, pengepakannya. Tim BPK mengupas dari formulasi pembentuk harganya yang kemudian dilihat ternyata ada kesalahan-kesalahan hitungan. Sehingga harusnya kalau dihitung ulang harganya bisa lebih murah dari Rp1,3 miliar itu.

“Jadi kami melakukan konfirmasi ke Bulog. Kami minta, formulasi pembentuk harganya seperti apa, kemudian kami cek. O, iya benar. Permasalahan ini sebenarnya Inspektorat Pemko juga sudah tahu. Tetapi pada saat kami turun, audit yang dilakukan Inspektorat belum selesai,” tambahnya.

Apa harapan BPK terkait hal ini? Widhi menjelaskan, selesaikan segera sesuai degan rekomendasi BPK. Kalau sudah tuntas, masuk dalam pemantauan, tinggal disampaikan, sudah status satu. Ini sudah sesuai dengan yang direkomendasikan BPK.

Sebetulnya semua yang berkaitan dengan pengembalian ke kas daerah BPK dorong segera saja lakukan. Tidak hanya yang ini, termasuk yang lain-lain juga.

“Kami pun sebetulnya, sangat terbuka kepada entitas bagaimana menindaklanjuti rekomendasi BPK, karena kadang-kadang kan bahasanya ini apa ya, menafsirkannya. Nah silakan yang bersangkutan bertanya ke kami. Pak ini maksudnya bagaimana ya? Kami dengan senang hati akan menjelaskannya,” tuturnya.

Bulog Kembalikan Kelebihan Bayar

Menyikapi kelebihan bayar ini, Perum Badan Urusan Logistik  (Bulog) Kantor Wilayah Riau-Kepri  mengatakan adanya kelebihan bayar tersebut karena kegiatan dilaksanakan sifatnya sangat mendesak.

“Mengapa ada kelebihan bayar? Karena kegiatan ini sifatnya sangat mendesak untuk memenuhi permintaan Pemerintah Kota Pekanbaru. Terutama untuk kegiatan bantuan Covid-19,” kata Kepala Bulog Riau-Kepri H Bakhtiar AS melalui Kasi Sekretariat Umum Delly Bayu Putra, Senin (30/8).

Menurut Delly Bayu Putra, sesuai dengan Surat Edaran Kepala LKPP No.3 Tahun 2020 bahwa post-audit dilakukan setelah proses kegiatan dan pembayaran selesai dilaksanakan. Hal ini bisa saja menyebabkan terjadinya perbedaan cara penghitungan, sehingga terjadilah perbedaan harga. Di mana apabila terjadi kelebihan harga dan sesuai perjanjian akan dilakukan pengembalian jika terjadi kelebihan bayar.

Besaran anggaran sesuai dengan penawaran yang diajukan Perum Bulog Kanwil Riau-Kepri untuk kegiatan bantuan sembako untuk masyarakat terdampak pandemi Covid-19 yang juga sudah disetujui oleh Dinas Perindag Kota Pekanbaru kurang lebih Rp7 miliar.

Rp7 miliar itu dengan rincian item pembelian beras, minyak goreng, sarden kaleng, dan mi instan. Delly Bayu Putra tidak menjelaskan secara rinci besaran yang dikembalikan. Tapi berdasarkan temuan BPK kelebihan bayar itu sebesar Rp1,366 miliar.

“Sudah dilakukan pengembalian ke kas daerah melalui BPKAD Kota Pekanbaru, dan juga sudah dilaporkan kepada Pemko melalui Kadis Perindag Kota Pekanbaru,” kata Delly Bayu Putra ketika ditanya apakah kelebihan pembayaran itu sudah dikembalikan atau belum.

Dengan kejadian tersebut, pihak Perum Bulog Kanwil Riau-Kepri tetap melakukan evaluasi dari segala lini. Bahkan pihaknya tetap komitmen untuk senantiasa men-support  kegiatan pemerintah daerah di Riau-Kepri.

“Terutama men-support kegiatan Pemda, khususnya dalam penanganan pandemi Covid-19,” ucapnya.

Delly juga mengatakan, terkait kegiatan-kegiatan mendesak perlu dilakukan sinergi yang baik antara stakeholder. Terutama dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan dengan baik melalui pendampingan yang dilakukan oleh pihak Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) maupun Aparat Penegak Hukum (APH).

“Dengan begitu kita yakin kegiatan dapat berjalan dengan baik. Sebab, ada keterlibatan APIP dan APH. Itu  hasil evaluasi kita,” tutupnya.

Disperindag Akui Sudah Ikuti Prosedur

Terkait kelebihan bayar Rp1,3 miliar ini, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Kadisperindag) Kota Pekanbaru Ingot Ahmad Hutasuhut menyampaikan klarifikasinya. Ingot menjelaskan, susunan anggaran untuk pembelian sembako penanganan Covid-19 kepada Bulog Riau Kepri ini di-review ke inspektorat.

“Perlu digarisbawahi, sebelum kami bayar, kami minta audit dulu dari inspektorat. Tapi, menurut inspektorat, prosedurnya dibayar dulu, baru diaudit. Makanya kita bayar. Setelah bayar, kita minta audit ternyata ada kelebihan bayar. Kita minta Bulog mengembalikan dan mereka mengembalikan,” ujar Ingot saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (24/8).

Bulog pun langsung menyetorkan karena yang berkewajiban mengembalikan mereka. Setelah diaudit oleh BPK dan ada kelebihan bayar Rp1,366 miliar, pihaknya membayar langsung ke Bulog. Makanya, pihaknya minta Bulog yang mengembalikan sebesar temuan BPK tersebut.

Sudah dikembalikan? “Sudah,” ujar Ingot. Kapan? “Sekitar tiga pekan lalu. Kalau mau pastinya konfirmasikan ke Bulog saja,” ujarnya.

Kelebihan bayar terjadi karena ada item yang dibeli tidak sesuai yang direncanakan. Pada saat itu (saat penyusunan anggaran), ekspektasi pihaknya adalah membeli Indomie. Tapi tidak boleh menyebutkan merek. Makanya disebutkan mi instan. Karena pengadaan yang mendadak tersebut, tidak tersedia Indomie sebanyak 30 ribu kardus. Makanya mereka mengambil mi instan merek lain yakni mi Gaga dan Intermi.

“Tentu nilainya lebih rendah, tapi tak masalah karena tetap layak dikonsumsi,” jelasnya. Mengapa tidak memilih beli Indomie dulu, dan kekurangannya pakai mi instan merek lain? Dia menyebut, bisa-bisa masyarakat akan protes. Kok ada yang dapat Indomie dan ada yang dapat mi Gaga atau Intermi.

“Makanya, kami tetap beli mi instan yang nilainya setara seperti mi Gaga dan Intermi,” ujarnya berdalih.

Dia tidak menyebutkan item lainnya seperti sarden, beras, dan minyak goreng yang juga kelebihan bayar. Ingot memaparkan, awalnya sembako untuk masyarakat yang terdampak Covid-19 ini pengadaannya di Dinas Sosial sebanyak 15 ribu paket. Namun, karena Wali Kota Pekanbaru Firdaus melihat masyarakat yang terdampak cukup banyak dan perlu dibantu, makanya ditambah 30 ribu paket lagi.

“Yang, 30 ribu paket sembako tersebut baru pengadaannya di kami (Disperindag, red),” ujarnya.

Disinggung adanya penolakan terhadap paket yang diberikan, Ingot mengaku tidak tahu secara pasti alasan dari masyarakat tersebut.

“Kami tidak tahu mengapa ada penolakan. Kami tak tahu ya, penolakan itu ada macam-macam. Setahu saya hanya beberapa orang yang menolak. Yang jelas, item-item yang diberikan dalam keadaan baik dan layak dikonsumsi,” jelasnya.

Bagaimana dengan penolakan Forum RT/RW? “Oh, kalau yang ini karena mereka merasa banyak warga mereka yang tidak dapat dan tak sesuai dengan yang mereka ajukan,” ujarnya.

Sekda Salahkan Bulog

Sekretaris Daerah Kota Pekanbaru Muhammad Jamil menyebut, kelebihan bayar Rp1,366 miliar sudah dikembalikan Bulog Riau Kepri kepada Pemko Pekanbaru. Dia menyebutkan, mungkin ada salah hitung dari komponen yang ada yang diberikan kepada masyarakat.

“Harga sepertinya. Hitungan mereka dengan kita (Pemko, red) mungkin berbeda sehingga ada koreksi-koreksi. Namun itu sudah terkoreksi kemarin dan sudah selesai,” sebut Jamil saat dikonfirmasi, Sabtu (21/8).

Ditanya lebih jauh apa evaluasi Pemko terhadap Disperindag sebagai penyelenggara bantuan bagi masyarakat ini, Jamil menyebutkan kelebihan bayar itu lebih kepada harga Bulog itu sendiri. Pihak BPK menyatakan bahwa harga yang ditetapkan Bulog kemahalan. Tidak ada evaluasi internal yang dilakukan, termasuk dugaan ada upaya mark up atau “main mata.”

“Jadi kesalahannya bukan di Pemko (Disperindag, red) tapi Bulog. Makanya Bulog harus mengembalikannya,” sebut Jamil.

Dengan demikian, tidak ada evaluasi yang dilakukan Pemko Pekanbaru terhadap kelebihan bayar ini. Termasuk juga banyak kelebihan bayar lainnya sepanjang 2020, yang jumlahnya juga besar.

Belum Tuntas

Kendati disebut-sebut sudah dibayarkan dan sudah selesai, ternyata menurut BPK, kelebihan bayar itu belum diselesaikan kedua pihak, baik Bulog maupun Pemko Pekanbaru. Penyebabnya, pemko juga belum melunasi pembayaran awal. BPK pun masih terus mengawasi hal ini hingga tuntas.

Kepala BPK Perwakilan Riau, Widhi Widayat menyebut, khusus terhadap permasalahan ini, perlu kesepahaman antara Bulog dengan pemko. Sebenarnya karena pembayarannya belum utuh, maka pengembaliannya pun belum utuh.

Memang, yang dikembalikan oleh Bulog ke pemko itu sudah sesuai dengan nilai pembayarannya. Kalau nanti pemko mau melunasi, maka Bulog akan menambah kelebihan pembayarannya. Misalnya, pembayaran 100, kerugian 30. Karena pembayaran baru 80, dia bayar kelebihan pembayarannya baru 20. Dia mau bayar 30 kalau sudah 100 persen dibayarkan.

“Jadi ada celah untuk selesai lebih cepat di pemkonya. Pemkonya punya komitmen untuk melunasi atau tidak? Kalau mau melunasi, berarti memang Bulog posisinya standby untuk menambah kelebihan pembayaran,” ujarnya.

Kalau Pemko berkomitmen sudahlah selesai saja pembayaran sampai di sini, tidak dilunasi, maka Bulog tidak perlu menambah pengembaliannya lagi. Sehingga tidak utuh pembayarannya. “Jadi ini semua tergantung pada pemko. Pemko  mau melunasi atau tidak. Intinya duduk bersama menyelesaikan ini. Jadi dalam posisi pembayaran, katakan yang baru 90 persen pengembaliannya sudah seimbang dengan kelebihannya. Tapi nanti kalau pembayarannya mau dilunasi, Bulog akan menambah lagi,” ujarnya.(gem/esi/das/ade/ali/muh)

Link berita terkait